Surat Terbuka untuk Teman-teman Literasi: Ayolah, Mari Menulis Kesenian

Sebagai pengurus Dewan Kesenian, kami mengundang teman-teman yang bergiat di bidang litarasi untuk menulis tentang kesenian. Sebab kami memgetahui dari Kamus Besar Bahasa Indonesi (KBBI), kata ‘literasi’ memiliki 3 pengertian. Pertama, kemampuan menulis dan membaca. Kedua, pengetahuan atau ketrampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu. Ketiga, kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.

Pertama tentang kemampuan membaca dan menulis. Bagaimana caranya agar bisa membaca dan menulis yang baik tentang kesenian? Jawabannya ada pada pengertian kedua, yaitu pengetahuan atau ketrampilan dalam bidang atau aktivitas kesenian.

Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda), kami memiliki 7 komite. Terdiri dari komite musik, komite tari, komite sinematografi & fotografi, komite sastra, komite teater, komite seni rupa, dan komite seni tradisi.

Taruhlah bila teman-teman literasi pengin menulis tentang tari. Semisal tari Banjar Kemuning. Ada banyak aspek yang bisa dijadikan bahan tulisan.

Bahwa pada tiap kibasan selendang kuning penari Banjar Kemuning, di situ ada makna yang melekat, inheren. Apa maknanya? Silakan teman-teman literasi menafsirkan sendiri. Jika kepengin mendapat gambaran latar belakang, boleh bertanya kepada koreografer atau penarinya.

Pada lincah rancak gerak kaki penari Banjar Kemuning, di situ ada filosofi. Semacam pandangan hidup. Juga sebuah perspektif atas kehidupan, pandangan penari ataupun pandangan koreografer atas realitas.

Begitulah, penari Banjar Kemuning menggunakan tubuhnya untuk berbahasa, untuk berkomunikasi kepada orang lain. Sehingga keseluruhan gerak penari adalah bahasa, memiliki maksud, memiliki makna, memiliki karep. Dengan menari, dia sekaligus merayakan tubuh. Silakan teman-teman literasi untuk menafsirkan perayaan tubuh dari penari Banjar Kemuning.

Tari Banjar Kemuning juga tidak lahir dari kekosongan. Dia memiliki keterkaitan erat dengan kehidupan sosial dan kehidupan kultural di suatu wilayah. Jika teman-teman literasi bersedia menelusuri keterkaitan ini, bentangan petualangan mengasyikkan bakal tergelar.

Lalu, apakah teman-teman literasi pernah memikirkan bahwa pertunjukan tari Banjar Kemuning yang sering kali berdurasi tidak lebih dari 10 menit itu disiapkan selama berapa kali latihan? Itulah seni tari. Kerap kali disiapkan berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, untuk sekadar pertunjukan yang berdurasi 10 menit.

Proses latihan yang berlarat-larat itu menarik pula untuk dicermati. Di situ ada diskusi, adu argumen, percobaan-persobaan yang seakan tiada henti, pencarian-pencarian kemungkinan lain. Kadang ada hal yang manusiawi sekali. Kegembiraan ketika menemukan ketepatan gerak, kejenuhan, mungkin juga sedikit putus atas, saling menghibur, saling menghormati. Komunalitas penggarapan tari adalah gambaran realitas kecil dari realitas lain yang lebih luas.

Dan pada durasi yang tidak lebih dari 10 menit, dari sekian banyak kru, hanya penari yang berhak mendominasi panggung. Padahal ini kerja tim. Kerelaan dari kru untuk tidak mendapat tatapan mata audien, sekali lagi, jika ditulis, berpotensi menghasilkan tulisan yang menyentuh nilai-nilai kemanusiaan.

Tarian Banjar Kemuning juga bisa ditulis secara intertekstual. Teman-teman literasi bisa membandingkan dengan tarian lain di Sidoarjo. Apakah karakter kesamaannya, apakah karakter perbedaannya. Bagaimana jika dibandingkan dengan tarian lain di Jawa Timur atau nusantara? Tentu saja aktivitas ini membutuhkan literatur. Tetapi bukankah akivitas literasi berkait erat dengan literatur alias referensi?

Jika teman-teman literasi suka berdandan, bolehlah melihat Tari Banjar Kemuning dari aspek kostum, busana. Tentang papaparan detail desain. Apakah desain kostum selaras dengan latar geografis. Bagaimana kesesuaiannya dengan pernik-pernik aksesoris yang menempel di tubuh penari?

Teman-teman juga bisa menyoroti segi artistik panggung tempat tarian Banjar Kemuning ditampilkan. Tata cahaya, apakah sudah digarap atau belum? Jika sudah digarap, apakah sekadar menerangi ruangan ataukah membawa suasana tertentu yang mendukung tampilan penari? Apakah ada properti atau benda-benda di atas panggung? Jika ada, sejauh mana benda-benda itu memiliki makna?

Selain Banjar Kemuning, banyak tarian lain yang juga menarik dibahas. Dan itu masih tari. Belum lagi teater, seni rupa, atau seni lainnya.

Musik misalnya. Yang paling dasar memang perihal bunyi-bunyian. Tinggi rendah suara, panjang pendek suara, keras lembut suara, dan warna suara. Tetapi ketika telah menjadi komposisi dan disajikan, ruang penafsirannya teramat luas. Teman-teman literasi tidak perlu khawatir kekurangan aspek untuk bisa ditulis dari seni musik. Asal bersedia menelusuri pengetahuan atau ketrampilan dalam bidang atau aktivitas musik.

Teman-teman litarasi, kami sangat membutuhkan teman-teman literasi untuk memasuki wilayah kesenian. Sebab, kami ditulis maka kami ada.

*Ribut Wijoto, Anggota Dewan Kesenian Sidoarjo

Sumber gambar: Radar Sidoarjo