Saat ini masyarakat Betawi biasa menggunakan pantun dalam tradisi pernikahan Palang Pintu. Mempelai perempuan menanyakan kesanggupan mempelai laki-laki dalam memenuhi persyaratan untuk menikah. Isi pantunnya berupa nasihat bagi kedua mempelai dan keluarganya. Kedua mempelai kemudian akan saling berbalas pantun dan diikuti oleh balasan pantun dari masing-masing keluarga. Penggunaan Pantun Betawi disertai dengan kata-kata humor, tetapi tetap memperhatikan sopan santun.
Rumah gedongan rumah belande, pagarnya kawat tiangnya besi,
gue kaga mao tau rombongan dari mane mau kemane, lewat kampung gue kudu permisi.Makan sekuteng di Pasar Jumat, mampir dulu di Kramat Jati,
aye dateng ama rombongan dengan segala hormat, mohon diterime dengan senang hatiBeli nasi uduk ke Kampung Kedoya, makan sate tujuh tusuk.
Kalau disuruh duduk di bangku yang tersedia, rombongan boleh masuk
Pantun Betawi merupakan pengembangan Pantun Melayu pada abad ke-17 dan ke-18 dan pantun Gujarat abad ke-15. Pantun Betawi, seperti pantun di seluruh masyarakat Melayu, memiliki aturan baku atau tidak baku. Jika sajak Melayu yang telah hidup sekian lama sangat formal, puisi Betawi justru sebaliknya. Ciri khas puisi Betawi adalah penggunaan bahasa Betawi, dengan pilihan kata dan bunyi yang menyenangkan, spontan, tulus, dan bahkan jenaka.
Burung elang burung kakak tua,
dia jongkok karena ada tikus.Duit ilang diambil mertua,
buat beli rokok tiga bungkus.
Perhatikan pula pantun berikut ini.
Gali lobang pakai cangkul,
lobang digali sekuat tenage.Percuma abang pelihara tuyul,
kalau yang dicuri kutang tetangga.
Perhatikan pula yang berikut ini, mengandung nasihat dan tetap dengan unsur humor.
Beli kentang di Karang Anyar,
kalo cari peniti di Cibitung.Punya utang mah kudu dibayar,
kalo mati ruhnya nggak digantung :D.