Semalam, di desa tetangga saya, tepatnya di Dusun Sono, Desa Sidokerto, Buduran, Sidoarjo, digelar acara Haul Auliya’ Sono. Lokasinya di makam ulama Sono, yang selama ini berada di kompleks tentara. Sepertinya haul itu adalah buah dari renovasi kompleks makam tersebut yang diinisiasi Bupati Sidoarjo Gus Muhdor dan KSAD Jenderal Dudung Abdurrahman tempo hari, juga pencanangan Situs Sono sebagai salah satu cagar budaya Kabupaten Sidoarjo oleh Bupati Sidoarjo. Dengan kata lain, acara semalam adalah sebuan penanda bahwa situs tersebut terbuka untuk umum, apalagi kini tongkrongan situs tersebut asolole. Lahan parkir luas, nyaman, dan dekat dengan angkringan dan gerai kudapan yang maknyus.
“Cocok buat healing,” kata isteri saya, apalagi posisi tempat tinggal kami hanya sepelemparan batu dari lokasi tersebut.
Yeah, bila berbicara tentang Sono atau Pesantren Sono, yang kondang adalah Tasrifan Sono. Itu adalah corak tasrifan atau ilmu shorof atau dalam bahasa mboisnya disebut morfologi bahasa Arab yang bersumber dari Pesantren Sono. Tasrifan Sono merupakan cikal bakal shorof, yang diduga kuat mengilhami kitab Amtsilatut Tashrifiyah yang ditulis oleh KH. Maksum Ali (dari PP. Maskumambang Gresik tapi mengajar di PP. Tebu Ireng Jombang) atau Tasrifan Jombang, dan menjadi standar belajar bahasa Arab bagi Madrasah Ibtidaiyah Maarif seluruh Indonesia.
Terlepas soal itu, Pondok Sono merupakan pondok tua dan legendaris di Sidoarjo, selain Pondok Siwalanpanji (Hamdaniyah dan Al-Khozini). Sejarahnya merentang jauh hingga abad ke-17. Meski kini perkembangannya tidak seperti dulu, tetapi orang Sidoarjo memandang tinggi Pondok Sono. Hal itu karena wali Sidoarjo, KH. Ali Mas’ud, yang dikenal dengan Mbah Ud (makamnya di Desa Pager Wojo, tetangga desa Dusun Sono), lahir di sana. Ayah Mbah Ud adalah salah satu pengasuh Pondok Sono, yaitu Kiai Said.
Sebuah sumber menyebut, silsilah Mbah Ud dari jalur ayah sebagai berikut: Kiai Ali Mas’ud bin Kiai Said bin Kiai Zarkasi, bin Mbah Muhyi bin Mbah Mursidi (makamnya di Tambak Sumur, Kecamatan Waru) bin Abdurrahman Baqo’. Abdurrahman Baqo’ adalah saudaranya Mbah Syamsuddin, yang makamnya kini di Desa Daleman. Sumber silsilah tersebut adalah artikel di Al-Ikhtibar edisi XXII tahun III, Februari 2008.
Sekadar info, makam beberapa pengasuh Pondok Sono atau ulama Sono, yaitu Kiai Muhyi/Kiai Muhayyin, Kiai Abu Mansur, dan Kiai Zarkasyi dulu berada di kompleks asrama tentara di Jalan Ksatrian, Buduran, dengan akses yang sangat terbatas. Kini, sudah direnovasi atau direvitalisasi dalam bahasa sundul langitnya. Kompleks itu sangat dekat dengan lokasi Pondok Sono.
Pada masa Kiai Zarkasyi, Pondok Sono berkibar dengan tradisi ilmu shorof dan tasrifannya di Indonesia. Beberapa kiai besar pernah nyantri ke sana. Biasanya mereka juga nyantri ke Pondok Pesantren Siwalanpanji untuk bidang keilmuan lain, seperti tasawuf dan akhlak. Di antaranya adalah KH Hasyim Asy’ari, KH Maksum Ali (penulis Amtsilatut Tashrifiyah/Tasrifan Jombang), KH Ma’ruf Kedunglo, KH Jazuli Ploso, dan kiai-kiai pengasuh pesantren lainnya.
Hal itu dapat dimaklumi karena sebuah sumber menyebut, pada abad ke-17–ke-20, Pondok Sono termasuk salah satu pondok pesantren terbesar di Jawa. “Dari pondok inilah mulai ada Tasrifan yang disebut dengan Tasrifan Sono, kemudian dikembangkan oleh ulama besar yaitu Kiai Maksum Jombang dan disebut Shorof Jombang yang sekarang dipakai sebagai standar shorof di seluruh pondok pesantren se-Indonesia,” tulis sumber tersebut, yang sudah saya jadikan rujukan uraian di atas.
Selain Pondok Sono, beberapa pondok lain masih menggunakan Tasrifan Sono hingga kini. Sayangnya, dalam kesempatan ini saya belum dapat merunutnya, juga belum dapat merunut perbedaannya dengan Tasrifan Jombang. Mudah-mudahan lain kali.
*Mashuri, Pengamat Budaya dan Peneliti di BRIN
Sumber gambar: Radar Sidoarjo