Pantun sebagai Tradisi Lisan di Nusantara

Tradisi lisan merupakan budaya yang dihasilkan dalam bentuk pesan atau kesaksian yang disampaikan turun-temurun lintas generasi. Tradisi ini disampaikan melalui ucapan, mantra, pidato, nyanyian, dan dapat berbentuk pantun, cerita rakyat, nasihat, balada, atau kidung atau lagu. Sebagai sumber pengetahuan, maka tradisi lisan harus dilestarikan sebagai sumber sejarah. Kemdikbudristek mencatat ada 4.521 tradisi lisan di nusantara, sebagian di antaranya terancam punah karena penutur tersisa sangat sedikit.

Pantun mempunyai tempat khusus dalam tradisi lisan. Penggunaan sampiran, isi dan rima cukup merata di kepulauan di Indonesia. Sebut saja tradisi syair di Aceh, Lego-Lego di Alor, Umpasa di Batak, beturai pantun di Banjar, parikan di Jawa, hingga Wala di Raja Ampat. Penggunaannya juga beragam, ada yang dilakukan dalam kidung atau nyanyian, tarian disertai nyanyi, saat meminang pengantin, bahkan untuk menangkap harimau seperti bailau di Sumatera Barat.

Belakangan pantun semakin digemari menjadi budaya populer di kota-kota, digunakan sebagai selingan (ice breaking) agar orang yang berkumpul tak bosan. Sementara di berbagai wilayah lain, berbalas pantun masih dilakukan juga sebagai tradisi lisan saat bekerja di ladang sebagai senda gurau pelepas lelah.

Buah ara, batang dibantun,
mari dibantun dengan parang.
Wahai saudara dengarlah pantun,
pantun tidak mengatai orang.

‘Ba-ilau’, Tradisi Lisan Minangkabau

Ba-ilau merupakan salah satu tradisi lisan Minangkabau dalam bentuk puisi, dan ditampilkan dengan cara bernyanyi. Lebih banyak dikenal di wilayah Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Ba-ilau dinyanyikan dinyanyikan dengan irama tertentu, secara meratap dan berhubungan dengan upacara. Temanya bersifat duniawi, untuk membedakan dengan salawat dulang yang bertema agama. Teks puisi dalam bailau disebut sebagai sisomba, seperti halnya dendang pauah dan batintin.

Fungsi ba-ilau ialah untuk upacara, yaitu menangkap harimau, penobatan datuk, mencari anak hilang, meratapi orang meninggal, dan memanggil orang yang telah lama tak kembali dari rantau. Ciri khas lain ialah dilagukan oleh perempuan, membedakan dengan tradisi lisan lain yang biasanya laki-laki. Sisomba ba-ilau memiliki dua larik sampiran dan dua larik isi.

Perhatikan contoh sisomba ba-ilau ini.

Sajak pasie dilamun pasang,
gilo lah ka Pulau Punjuang sajo.

Sajak layie taruih lah gadang,
gilo lah dimabuak darito sajo.

Sejak pasir dilamun pasang,
selalu ke Pulau Punjung saja.

Sejak lahir terus besar,
selalu dimabuk derita saja.

Perhatikan sisomba ba-ilau berikut yang untuk memanggil harimau dapat masuk ‘pinjaro’ atau dikurung.

Eii, eii, duduak bajuntai ateh munggu
bajuntai lalu ka muaro.

Duah.. aduahai, aduah..

Eii, eii, angku dukun lapeh parindu,
nak masuak rimau ka pinjaro.

Duah.. aduahai, aduah..

Eii, eii, duduk berjuntai bajuntai di atas munggu (bukit kecil)
berjuntai lalu ke muara.

Duah.. aduahai, aduah..

Eii, eii, tuanku dukun lepas perindu,
hendak masuk harimau ke penjara.

Duah.. aduahai, aduah..