Titik Temu antara Tanggal 1 Suro dan 10 Besar

: ngablak siang
Tanggal 1 Suro atau 1 Muharram memang tak terpaut jauh dari tanggal 10 Besar atau 10 Dzulhijjah. Namun, kedua tanggal tersebut memiliki makna tersendiri dalam warisan tradisi antara masyarakat pesisir dan pedalaman Jawa. Ada yang menyederhanakannya sebagai ritual Abangan dan Putihan, meskipun sejatinya berakar panjang dan dalam. Bagaimana bisa demikian?
1 Suro menjadi sebuah tanggal yang dianggap sakral di Jawa dimulai sejak konversi penanggalan Hijriyah yang berpatok pada hitungan qamariyah dengan penanggalan Jawa yang berpatok pada hitungan syamsiyah. Tokoh yang populer di balik rekayasa tersebut adalah Sultan Agung Anyokrokusumo (w. 1645), raja Mataram Islam paling top markotop.
Perubahan itu dimulai hari Jumat Legi, tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 1043 Hijriah, atau tanggal 8 Juli 1633 Masehi. Ekspansi politik yang berbarengan dengan ekspansi budaya oleh Kerajaan Mataram membuat hampir semua wilayah di Jawa terkooptasi dengan keyakinan tersebut.
Meski demikian ada juga yang mengaitkan sakralitas tersebut dengan beberapa peristiwa suci dalam Islam terkait dengan bulan Muharram, mulai disarankannya puasa pada bulan Muharram hingga peristiwa Karbala. Pada tanggal 1 Suro, juga bulan Suro, banyak ritual dan mitos yang tercipta. Tilasnya masih bisa dilihat dalam tradisi Jawa, baik di negerigung Surakarta dan Yogyakarta maupun di wilayah lain yang masih ‘hidup’ hantu-hantu Mataramnya, baik di kawasan pedalaman maupun pesisir.
Namun, kawasan pesisir yang lebih dulu eksis dalam sejarahnya agak berseberangan dengan Mataram masih menyimpan ritualnya sendiri. Ritual sakral tidak digelar pada 1 Suro, tetapi pada 10 Dzulhijjah, yang bertepatan dengan hari raya Idul Adha atau Idul Qurban. Sisa-sisanya masih tampak pada beberapa tempat yang dulu menjadi pusat kekuasaan pesisir dan merupakan pusat awal Islamisasi di Jawa, yaitu di bawah pengaruh Giri Kedaton di Gresik, dan di bawah Kerajaan Demak Bintara di Demak.
Tak berbeda dengan 1 Suro, pada 10 Dzulhijjah juga digelar ritual jamasan pusaka dan ritual sakral lainnya. Di Lamongan, di kampung halaman, ritual jamasan pusaka Kiai Jimat, pusaka adipati Lamongan pertama yang berafiliasi ke Giri Kedaton digelar pasca Shalat Ied pada Idul Adha. Begitu pula dengan jamasan baju tambal sewu, yang diangap sebagai peninggalan Sunan Giri. Baju ini juga dikeluarkan dari kotak penyimpanan dan dibersihkan pada tanggal 10 Besar. Konon, begitu pula dengan jamasan pusaka Kiai Kalamunyeng, warisan Sunan Giri—meskipun kemudian muncul versi berbeda.
Hal yang sama berlaku untuk jamasan keris pusaka Kiai Carubuk, peninggalan Sunan Kalijaga di Demak. Begitu pula dengan jamasan Kutang Ontokusumo warisan Sunan Kalijaga, digelar pada tanggal 10 Dzulhijjah. Ironisnya, kedua tokoh tersebut, yakni Sunan Giri dan Sunan Kalijaga dianggap sebagai tokoh yang menggawangi kelompok Abangan dan Putihan di Jawa.
Demikianlah. Sebuah mukadimah dari sebuah tulisan yang direncanakan panjang dan dalam. Crit!
*Mashuri, Pengamat Budaya dan Peneliti di BRIN

Betawi Punya Cerita: Nyorog

Dulu kalo lebaran kurang atu ari entuh masyarakat kampung kita udah pada sibuk nyiapin buat datengnya ari lebaran ada nyeng sibuk andilan daging kebo, bikin kue, ngerebus tupat ama pada beli baju baru sementara entuh di Langgar dan mesjid udah rame ama suara takolan bedug bocah.
Sore arinya entuh orang udah pada sibuk ama nyeng namanya bebawaan (nyorog) jalanan kampung penuh ama orang nyeng pada jalan kaki bawa tentengan atawa rantang isi olahan buat bawain orang tua dan sedara nyeng lebih tua. Berasa bener hari entuh apalagi kalo takbir udah berkumandang di langgar dan mesjid, ampe mewek kaga berasa aer mata ampe netes. Biasanya kalo menjelang sore ari entuh baba kita udah pada gelar tiker dibale buat persiapan sedekah malem lebaran,dengan serebatan kaen baba nunggu bedug nunclo di bale sekalian nyambut ade,ponakan dan cucu nyeng pada dateng bebawaan.
Kalo ari lebaran paling berkah sodara paling tua,entuh nyeng namanya bawaan ampe kaga muat dimeja dapur,lah orang dulu pan anaknya banyak,tarolah anaknya sepuluh entuh baba bisa dapet sepuluh rantang,entuh baru dari anaknya doang belon dari ponakan dan misananya pokoknya entuh nyeng namanya semur kebo ama sayur kembili ampe kaga muat dipaso.
Sudahan ikan tembang ama perek di jaketin mah ampe pada ngampar,entuh bocah pada demen gadoin ikan gabus kering ama bucak bacek,karena bucak bacek mah kudu dimakan ari entuh juga karena gampang basi,kalo semur daging dan sayur kembili bisa diangetin di tungku dapur dan makin diangetin makin nyerep rasa bumbunya.
Entuh orang bebawaan karena dulu mah pada jalan kaki dari sore ampe malem entuh orang masing pada ngalut kaya kaga ada berenti dan abisnya.Abis maghrib mulain dah entuh suara rencengan petasan mulai pada berodog nandain selamatan malem lebaran udah di mulai. Suara berodogan petasan, suara bedug dan suara takbir berbaur ama suara orang lewat pada bebawaan bikin lebaran di kampung kita dulu begitu meriah dan syahdu,sekali lagi kalo malem takbiran dateng entuh aer mata kaga berasa pada ngembeng apalagi nyeng udah kaga punya emak ama baba sangat berasa sekali.
Bang Sarin “Ilok” Sarmadi
Ketua Yayasan Kebudayaan Orang Bekasi( KOASI)

Nubuat Penyair Kenthir

: prosa asolole
Saya baru saja dibaptis menjadi penyair oleh seorang sesepuh kawi Java Oosthoek, yang separoh cenayang, bernama Karl Sastrogandul. Dia selalu mengaku aseli Java Oosthoek, meskipun silsilah darahnya tidak jelas, karena dalam dirinya mengalir darah Jawa, Madura, Cina, dan Belanda. Orang tua ayahnya dari Sragen dan Sampang. Orang tua ibunya dari Shanghai dan Rotterdam. Kedua orang tuanya bersua di perkebunan tembako yang dirintis George Birnie di Jember. Tak heran, jika dia ditanya apakah dia bumiputera, dia pasti menjawab sebagai putera bumi.
Saya dibaptis, konon, karena saya sudah menguasai 18 jurus dasar Pencak Kedaton Wetan lawas, meskipun kekuatan pasemon, daya pralambang, dan waskita adisastra Pandalungan saya, nyaris sekarat dan dedel-duel. Kata Karl, dalam dunia sastra transkolonial, jurus persilatan lebih dibutuhkan daripada jurus persuratan. O iya, saya sendiri pribumi aseli Jelbuk, meskipun Bapak pendatang dari Ponorogo, dan ibu Bangkalan.
Dengan pengesahan kepenyairan tersebut, saya punya kewenangan besar dan legal formal untuk bersyair, memanjatkan mantra, dan merayakan pujian pada Bupati Brang Wetan: Raden Menak Jingga XXI. Saya resmi menjadi penyair istana. Namun, menurut Karl, kepenyairan hanyalah pintu pembuka bagi derajat kemanusiaan saya. Saya diminta tidak terlena dan dikutuk untuk terus bergerak, karena berhenti adalah mati.
“Kelak kamu tidak menjadi bupati Java Oosthoek, tapi menjadi gubernur Jawa Timur,” kata Karl, bernubuat. “Pergilah dari sini, tinggallah di kampung yang diawali dengan kata kali,” lanjut dia.
Karena titah itu, saya pun pergi dari tanah tumpah darah dan tinggal di Kampung Kalikepiting di Kadipaten Surapringga. Selanjutnya, saya bertungkus-lumus membangun sanggar seni sastra dari nol krowak. Sepuluh tahun kemudian, saya baru dapat memanen buah-buah kebajikan sastra saya sehingga dipanggillah saya oleh khalayak dengan sebutan adiluhung Sunan Kalikepiting. Pada akhirnya, nujum Karl terbukti. Suatu hari, saya diundang ke Grahadi, kediaman resmi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Ruud van Basten, untuk dilantik sebagai gubernur Jawa Timur. Namun, dengan spesialisasi gubernur penyair.
“Lha, bagaimana dengan presiden penyair Jawa Timur?” tanya Durrasim, seorang pekawi aseli Gang Djoko Dolog, dalam acara pelantikan itu.
“Menurut Karl, nanti baru muncul setelah Indonesia merdeka!” kata saya, sambil membatin, semoga saja dia tidak bertanya kapan Indonesia merdeka, dalam arti sesungguhnya, karena Karl tidak pernah menyinggungnya dan saya koplak tak tahu jawabannya.
O iya, sebelum akhirul kata, perkenalkan nama tenar saya adalah Kukusan Amo. Aslinya bernama Paijo. Buku puisi saya yang cetar membahana adalah “Syair Memanggil Mamah” diterbitkan Boekhandel Soerabaia tahun 1929, menjelang resesi dunia. Tolong dibeli dan dikoleksi ya. Mmmuah.
MA
On Sapoe Djagat, 2017–2023
NB: Sejarah mencatat ada seorang kritikus sastra di Jawa Timur, memberi gelar pada seorang penyair dengan presiden penyair Jawa Timur. Adapun kisah tersebut fiksi semata. Kebenaran nama dan tempat, memang disengaja.
*Mashuri, Pengamat Budaya dan Peneliti di BRIN

Surat Terbuka untuk Teman-teman Literasi: Ayolah, Mari Menulis Kesenian

Sebagai pengurus Dewan Kesenian, kami mengundang teman-teman yang bergiat di bidang litarasi untuk menulis tentang kesenian. Sebab kami memgetahui dari Kamus Besar Bahasa Indonesi (KBBI), kata ‘literasi’ memiliki 3 pengertian. Pertama, kemampuan menulis dan membaca. Kedua, pengetahuan atau ketrampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu. Ketiga, kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.

Pertama tentang kemampuan membaca dan menulis. Bagaimana caranya agar bisa membaca dan menulis yang baik tentang kesenian? Jawabannya ada pada pengertian kedua, yaitu pengetahuan atau ketrampilan dalam bidang atau aktivitas kesenian.

Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda), kami memiliki 7 komite. Terdiri dari komite musik, komite tari, komite sinematografi & fotografi, komite sastra, komite teater, komite seni rupa, dan komite seni tradisi.

Taruhlah bila teman-teman literasi pengin menulis tentang tari. Semisal tari Banjar Kemuning. Ada banyak aspek yang bisa dijadikan bahan tulisan.

Bahwa pada tiap kibasan selendang kuning penari Banjar Kemuning, di situ ada makna yang melekat, inheren. Apa maknanya? Silakan teman-teman literasi menafsirkan sendiri. Jika kepengin mendapat gambaran latar belakang, boleh bertanya kepada koreografer atau penarinya.

Pada lincah rancak gerak kaki penari Banjar Kemuning, di situ ada filosofi. Semacam pandangan hidup. Juga sebuah perspektif atas kehidupan, pandangan penari ataupun pandangan koreografer atas realitas.

Begitulah, penari Banjar Kemuning menggunakan tubuhnya untuk berbahasa, untuk berkomunikasi kepada orang lain. Sehingga keseluruhan gerak penari adalah bahasa, memiliki maksud, memiliki makna, memiliki karep. Dengan menari, dia sekaligus merayakan tubuh. Silakan teman-teman literasi untuk menafsirkan perayaan tubuh dari penari Banjar Kemuning.

Tari Banjar Kemuning juga tidak lahir dari kekosongan. Dia memiliki keterkaitan erat dengan kehidupan sosial dan kehidupan kultural di suatu wilayah. Jika teman-teman literasi bersedia menelusuri keterkaitan ini, bentangan petualangan mengasyikkan bakal tergelar.

Lalu, apakah teman-teman literasi pernah memikirkan bahwa pertunjukan tari Banjar Kemuning yang sering kali berdurasi tidak lebih dari 10 menit itu disiapkan selama berapa kali latihan? Itulah seni tari. Kerap kali disiapkan berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, untuk sekadar pertunjukan yang berdurasi 10 menit.

Proses latihan yang berlarat-larat itu menarik pula untuk dicermati. Di situ ada diskusi, adu argumen, percobaan-persobaan yang seakan tiada henti, pencarian-pencarian kemungkinan lain. Kadang ada hal yang manusiawi sekali. Kegembiraan ketika menemukan ketepatan gerak, kejenuhan, mungkin juga sedikit putus atas, saling menghibur, saling menghormati. Komunalitas penggarapan tari adalah gambaran realitas kecil dari realitas lain yang lebih luas.

Dan pada durasi yang tidak lebih dari 10 menit, dari sekian banyak kru, hanya penari yang berhak mendominasi panggung. Padahal ini kerja tim. Kerelaan dari kru untuk tidak mendapat tatapan mata audien, sekali lagi, jika ditulis, berpotensi menghasilkan tulisan yang menyentuh nilai-nilai kemanusiaan.

Tarian Banjar Kemuning juga bisa ditulis secara intertekstual. Teman-teman literasi bisa membandingkan dengan tarian lain di Sidoarjo. Apakah karakter kesamaannya, apakah karakter perbedaannya. Bagaimana jika dibandingkan dengan tarian lain di Jawa Timur atau nusantara? Tentu saja aktivitas ini membutuhkan literatur. Tetapi bukankah akivitas literasi berkait erat dengan literatur alias referensi?

Jika teman-teman literasi suka berdandan, bolehlah melihat Tari Banjar Kemuning dari aspek kostum, busana. Tentang papaparan detail desain. Apakah desain kostum selaras dengan latar geografis. Bagaimana kesesuaiannya dengan pernik-pernik aksesoris yang menempel di tubuh penari?

Teman-teman juga bisa menyoroti segi artistik panggung tempat tarian Banjar Kemuning ditampilkan. Tata cahaya, apakah sudah digarap atau belum? Jika sudah digarap, apakah sekadar menerangi ruangan ataukah membawa suasana tertentu yang mendukung tampilan penari? Apakah ada properti atau benda-benda di atas panggung? Jika ada, sejauh mana benda-benda itu memiliki makna?

Selain Banjar Kemuning, banyak tarian lain yang juga menarik dibahas. Dan itu masih tari. Belum lagi teater, seni rupa, atau seni lainnya.

Musik misalnya. Yang paling dasar memang perihal bunyi-bunyian. Tinggi rendah suara, panjang pendek suara, keras lembut suara, dan warna suara. Tetapi ketika telah menjadi komposisi dan disajikan, ruang penafsirannya teramat luas. Teman-teman literasi tidak perlu khawatir kekurangan aspek untuk bisa ditulis dari seni musik. Asal bersedia menelusuri pengetahuan atau ketrampilan dalam bidang atau aktivitas musik.

Teman-teman litarasi, kami sangat membutuhkan teman-teman literasi untuk memasuki wilayah kesenian. Sebab, kami ditulis maka kami ada.

*Ribut Wijoto, Anggota Dewan Kesenian Sidoarjo

Sumber gambar: Radar Sidoarjo

Situs Ulama Sono dan Warisan Pengetahuan di Kalangan Santri

Semalam, di desa tetangga saya, tepatnya di Dusun Sono, Desa Sidokerto, Buduran, Sidoarjo, digelar acara Haul Auliya’ Sono. Lokasinya di makam ulama Sono, yang selama ini berada di kompleks tentara. Sepertinya haul itu adalah buah dari renovasi kompleks makam tersebut yang diinisiasi Bupati Sidoarjo Gus Muhdor dan KSAD Jenderal Dudung Abdurrahman tempo hari, juga pencanangan Situs Sono sebagai salah satu cagar budaya Kabupaten Sidoarjo oleh Bupati Sidoarjo. Dengan kata lain, acara semalam adalah sebuan penanda bahwa situs tersebut terbuka untuk umum, apalagi kini tongkrongan situs tersebut asolole. Lahan parkir luas, nyaman, dan dekat dengan angkringan dan gerai kudapan yang maknyus.
“Cocok buat healing,” kata isteri saya, apalagi posisi tempat tinggal kami hanya sepelemparan batu dari lokasi tersebut.
Yeah, bila berbicara tentang Sono atau Pesantren Sono, yang kondang adalah Tasrifan Sono. Itu adalah corak tasrifan atau ilmu shorof atau dalam bahasa mboisnya disebut morfologi bahasa Arab yang bersumber dari Pesantren Sono. Tasrifan Sono merupakan cikal bakal shorof, yang diduga kuat mengilhami kitab Amtsilatut Tashrifiyah yang ditulis oleh KH. Maksum Ali (dari PP. Maskumambang Gresik tapi mengajar di PP. Tebu Ireng Jombang) atau Tasrifan Jombang, dan menjadi standar belajar bahasa Arab bagi Madrasah Ibtidaiyah Maarif seluruh Indonesia.
Terlepas soal itu, Pondok Sono merupakan pondok tua dan legendaris di Sidoarjo, selain Pondok Siwalanpanji (Hamdaniyah dan Al-Khozini). Sejarahnya merentang jauh hingga abad ke-17. Meski kini perkembangannya tidak seperti dulu, tetapi orang Sidoarjo memandang tinggi Pondok Sono. Hal itu karena wali Sidoarjo, KH. Ali Mas’ud, yang dikenal dengan Mbah Ud (makamnya di Desa Pager Wojo, tetangga desa Dusun Sono), lahir di sana. Ayah Mbah Ud adalah salah satu pengasuh Pondok Sono, yaitu Kiai Said.
Sebuah sumber menyebut, silsilah Mbah Ud dari jalur ayah sebagai berikut: Kiai Ali Mas’ud bin Kiai Said bin Kiai Zarkasi, bin Mbah Muhyi bin Mbah Mursidi (makamnya di Tambak Sumur, Kecamatan Waru) bin Abdurrahman Baqo’. Abdurrahman Baqo’ adalah saudaranya Mbah Syamsuddin, yang makamnya kini di Desa Daleman. Sumber silsilah tersebut adalah artikel di Al-Ikhtibar edisi XXII tahun III, Februari 2008.
Sekadar info, makam beberapa pengasuh Pondok Sono atau ulama Sono, yaitu Kiai Muhyi/Kiai Muhayyin, Kiai Abu Mansur, dan Kiai Zarkasyi dulu berada di kompleks asrama tentara di Jalan Ksatrian, Buduran, dengan akses yang sangat terbatas. Kini, sudah direnovasi atau direvitalisasi dalam bahasa sundul langitnya. Kompleks itu sangat dekat dengan lokasi Pondok Sono.
Pada masa Kiai Zarkasyi, Pondok Sono berkibar dengan tradisi ilmu shorof dan tasrifannya di Indonesia. Beberapa kiai besar pernah nyantri ke sana. Biasanya mereka juga nyantri ke Pondok Pesantren Siwalanpanji untuk bidang keilmuan lain, seperti tasawuf dan akhlak. Di antaranya adalah KH Hasyim Asy’ari, KH Maksum Ali (penulis Amtsilatut Tashrifiyah/Tasrifan Jombang), KH Ma’ruf Kedunglo, KH Jazuli Ploso, dan kiai-kiai pengasuh pesantren lainnya.
Hal itu dapat dimaklumi karena sebuah sumber menyebut, pada abad ke-17–ke-20, Pondok Sono termasuk salah satu pondok pesantren terbesar di Jawa. “Dari pondok inilah mulai ada Tasrifan yang disebut dengan Tasrifan Sono, kemudian dikembangkan oleh ulama besar yaitu Kiai Maksum Jombang dan disebut Shorof Jombang yang sekarang dipakai sebagai standar shorof di seluruh pondok pesantren se-Indonesia,” tulis sumber tersebut, yang sudah saya jadikan rujukan uraian di atas.
Selain Pondok Sono, beberapa pondok lain masih menggunakan Tasrifan Sono hingga kini. Sayangnya, dalam kesempatan ini saya belum dapat merunutnya, juga belum dapat merunut perbedaannya dengan Tasrifan Jombang. Mudah-mudahan lain kali.
*Mashuri, Pengamat Budaya dan Peneliti di BRIN
Sumber gambar: Radar Sidoarjo