: prosa asolole
Saya baru saja dibaptis menjadi penyair oleh seorang sesepuh kawi Java Oosthoek, yang separoh cenayang, bernama Karl Sastrogandul. Dia selalu mengaku aseli Java Oosthoek, meskipun silsilah darahnya tidak jelas, karena dalam dirinya mengalir darah Jawa, Madura, Cina, dan Belanda. Orang tua ayahnya dari Sragen dan Sampang. Orang tua ibunya dari Shanghai dan Rotterdam. Kedua orang tuanya bersua di perkebunan tembako yang dirintis George Birnie di Jember. Tak heran, jika dia ditanya apakah dia bumiputera, dia pasti menjawab sebagai putera bumi.
Saya dibaptis, konon, karena saya sudah menguasai 18 jurus dasar Pencak Kedaton Wetan lawas, meskipun kekuatan pasemon, daya pralambang, dan waskita adisastra Pandalungan saya, nyaris sekarat dan dedel-duel. Kata Karl, dalam dunia sastra transkolonial, jurus persilatan lebih dibutuhkan daripada jurus persuratan. O iya, saya sendiri pribumi aseli Jelbuk, meskipun Bapak pendatang dari Ponorogo, dan ibu Bangkalan.
Dengan pengesahan kepenyairan tersebut, saya punya kewenangan besar dan legal formal untuk bersyair, memanjatkan mantra, dan merayakan pujian pada Bupati Brang Wetan: Raden Menak Jingga XXI. Saya resmi menjadi penyair istana. Namun, menurut Karl, kepenyairan hanyalah pintu pembuka bagi derajat kemanusiaan saya. Saya diminta tidak terlena dan dikutuk untuk terus bergerak, karena berhenti adalah mati.
“Kelak kamu tidak menjadi bupati Java Oosthoek, tapi menjadi gubernur Jawa Timur,” kata Karl, bernubuat. “Pergilah dari sini, tinggallah di kampung yang diawali dengan kata kali,” lanjut dia.
Karena titah itu, saya pun pergi dari tanah tumpah darah dan tinggal di Kampung Kalikepiting di Kadipaten Surapringga. Selanjutnya, saya bertungkus-lumus membangun sanggar seni sastra dari nol krowak. Sepuluh tahun kemudian, saya baru dapat memanen buah-buah kebajikan sastra saya sehingga dipanggillah saya oleh khalayak dengan sebutan adiluhung Sunan Kalikepiting. Pada akhirnya, nujum Karl terbukti. Suatu hari, saya diundang ke Grahadi, kediaman resmi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Ruud van Basten, untuk dilantik sebagai gubernur Jawa Timur. Namun, dengan spesialisasi gubernur penyair.
“Lha, bagaimana dengan presiden penyair Jawa Timur?” tanya Durrasim, seorang pekawi aseli Gang Djoko Dolog, dalam acara pelantikan itu.
“Menurut Karl, nanti baru muncul setelah Indonesia merdeka!” kata saya, sambil membatin, semoga saja dia tidak bertanya kapan Indonesia merdeka, dalam arti sesungguhnya, karena Karl tidak pernah menyinggungnya dan saya koplak tak tahu jawabannya.
O iya, sebelum akhirul kata, perkenalkan nama tenar saya adalah Kukusan Amo. Aslinya bernama Paijo. Buku puisi saya yang cetar membahana adalah “Syair Memanggil Mamah” diterbitkan Boekhandel Soerabaia tahun 1929, menjelang resesi dunia. Tolong dibeli dan dikoleksi ya. Mmmuah.
MA
On Sapoe Djagat, 2017–2023
NB: Sejarah mencatat ada seorang kritikus sastra di Jawa Timur, memberi gelar pada seorang penyair dengan presiden penyair Jawa Timur. Adapun kisah tersebut fiksi semata. Kebenaran nama dan tempat, memang disengaja.
*Mashuri, Pengamat Budaya dan Peneliti di BRIN